Selasa, 13 November 2018

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN SANGIHE (bag :1) oleh : Alffian W.P. Walukow

SEJARAH  DAN KEBUDAYAAN  SANGIHE
oleh : Alffian W.P.  Walukow

BAB - I
CERITA  GUMANSALANGI








SANGIANG  KONDA WULAENG
SANG  PUTRI CAHAYA


          Untuk  mendalami  kebudayaan  sangihe, sebaiknya  memahami  sastera lisan sangihe, sastera lisan  sangihe adalah  salah satu bukti peninggalan kebudayaan sangihe masa  lalu yang masih  dilestarikan sampai saat  ini. Dari  beberapa  sastera lisan sangihe yang  paling  melegenda  adalah cerita  Gumansalangi. Dari  cerita  tersebut kita  dapat  melihat   keberadaan sangihe  dari  penduduk  mula-mula sampai   terbentuknya  kerajaan-kerajaan  yang  menjadi  dasar  terbentuknya  sebuah  suku  yang  dinamakan  suku  sangihe. Kisah Gumansalangi  sebagai  penduduk  mula-mula tergambar  secara   utuh   dalam  Tamo   karena   tamo  telah  menjiwai kelahiran sangiang  konda sebagai ibu  dari  orang-orang  sangihe. Cerita  Gumansalangi  dan  pembentukan kerajaan  sudah ditulis  banyak  orang  meskipun   hanya   dalam  tulisan-tulisan lepas, bukan  dalam  sebuah  buku   yang sangat lengkap. 
Ada  banyak tulisan yang  dilengkapi  dengan  tahun kejadian,  tetapi belum bisa diakui karena  semua   cerita   tentang   Gumansalangi, tidak  pernah  dibukukan dimasa  lalu  sehingga  terjadi  kesimpangsiuran. Mungkin   cerita  lengkap  tentang  Sangihe boleh ditelusuri  di Belanda untuk  mandapatkan  kepastian yang  lebih ilmiah dan dapat  diakui  oleh  publik  yang  lebih  luas. 
Seperti pepatah mengatakan “tak ada  rotan  akarpun jadi”. Kita sebagai  generasi  baru tidak bisa lagi  menunggu “pemerintah”  untuk  mendanai  penelitian   dan penulisan  tentang  sejarah  dan kebudayaan  sangihe  secara komprehensip. Karena  lebih  banyak  orang  sangihe “ndak” mau  peduli,  dari  pada  yang  terpanggil untuk  berbuat menggali  kekayaan  budaya.
Tokoh   Gumansalangi  sudah diceritakan berabad-abad lamanya di  kepulauan  sangihe  melalui   cerita lisan dari generasi  kegenerasi secara  turun-temurun. Sejak  masuknya  bangsa  Eropa, cerita Gumansalangi   mulai  ditulis  oleh  para budayawan, sejarahwan dan  pemerhati  sejarah  dan kebudayaan  sangihe lainnya dalam  bentuk  tulisan-tulisan lepas.
Cerita  Gumansalangi  pertama  kali  diterjemahkan Desember  1993 di Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru  ditulis oleh Kenneth  R. Maryott,  seorang berkebangsaan  Amerika   yang  bekerja  sebagai   dosen  bahasa  Inggris di Philliphin  dalam   buku  yang  berjudul “ Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau  Sangihĕ “.  Buku tersebut ditulis  dalam  tiga  bahasa,  yaitu  bahasa Sangihe,bahasa Inggris   dan  bahasa  Indonesia, diterbitkan  oleh “ The Committee For The Promotion Of  The Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth  bertindak  sebagai  editor, berdasarkan  penuturan dari Bapak  Haremson E. Juda. Disamping itu terdapat   juga  cerita  tentang  Makaampo.  Cerita  Makaampo pertama  kali  ditulis dan dipublikasikan dengan judul “Bĕkeng  Makaampo (The Story of  Makaampo)” dari  artikel  journal “Majalah Bijdragen tot de taal,- Land – en Volkendkunde, Volume 113 (1957)
Cerita  Gumansalangi berasal  dari kepulauan  Sangihe Talaud, yang  diceritakan  sebagai folklore  atau  cerita  rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari  masa silam yang  menuju  ke ambang  kepunahan). Banyak  cerita  yang  berkembang di kepuluan sangihe  tentang  Gumansalangi tetapi intinya berkisah  tentang penduduk  sangihe pertama. Permasalahannya  adalah Siapa dan  dari  mana asal  Gumansalangi yang sebenar – benarnya. Sampai kapanpun tidak  akan  mungkin  ditemukan kebenaran secarah  ilmiah siapa  Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum ditemukan  bukti melalui  naskah  kuno  atau  prasasti  yang menulis atau  memberikan  gambaran  tentang kehidupan  Gumansalangi. Hal  ini  terjadi  juga  pada   beberapa folklore  lain  disulawesi  utara  seperti cerita Toar  dan  Lumimuut dari  Minahasa, cerita Gumalangi  dan  isterinya Tendeduata penghuni  pertama  Bolaang Mongondow, cerita  seperti  ini  tetap  menjadi  legenda.
Kenapa  cerita  Gumansalangi memiliki banyak bentuk,dari alur  cerita  maupun  kesesuaiannya  dengan  sejarah Sangihe. Hal  ini  disebabkan  oleh beberapa  hal  yaitu : Cerita  Gumansalangi  merupakan  sastera lisan,  yang  hanya diceritakan dari  mulut ke mulut, keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai  perubahan. Perubahan dapat  terjadi berdasarkan siapa  yang   pertama mengisahkan, siapa  yang  mendengarkan, kepada  siapa  kisah  itu  diturunkan dan  dilingkungan  apa     cerita  itu dikembangkan.
Berdasarkan  beberapa  cerita yang berkembang  dimasyarakat  sangihe terdapat  beberapa cerita  berdasarkan tempat  dimana  cerita itu  berkembang  diantaranya ;  Cerita  Gumansalangi  versi Siau, Cerita  Gumansalangi  versi Talaud, Cerita  Gumansalangi  versi pulau Sangihe besar. Dikalangan  orang  sangihe sendiri   terdapat beberapa  bentuk, seperti versi  cerita  Gumansalangi  dari  orang-orang  yang ada  di  bekas  kerajaan  Tabukan  dan  diluar  kerajaan  Tabukan. Diantara   beberapa  versi  tersebut dapat  dipaparkan  beberapa versi yang memiliki perbedaan.
a.      Versi  pertama (versi  siau)
Gumansalangi  adalah   kulano   pertama di Pulau  Sangihe   besar. Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda atau  Kondawulaeng. Gumansalangi   adalah Putera  Mahkota  dari   kesultanan Cotabato,Mindanao Selatan akhir  abad ke XII. Mereka  diperintahkan untuk   pergi  ketimur   oleh ayah   Gumansalangi dengan maksud   supaya   mereka  dapat   mendirikan   kerajaan   baru. Berangkatlah   mereka dengan   menunggangi   ular  terbang  sampai  ke   Pulau  Marulung (pulau  balut), kemudian  keselatan menuju  pulau Mandolokang  (pulau  Taghulandang) dipulau   ini  mereka  tidak   turun tetapi melanjutkan   perjalanan   ke  pulau lain melewati pulau Siau dan  turun di pulau  Sangihe   besar.
Dalam  perjalanan, ikut  pula  saudara  laki-laki  dari Kondaasa bernama  Pangeran   Bawangunglare. Mereka  lalu  mendarat di pantai  Saluhe. Dikemudian  hari   nama Saluhe berubah  menjadi  Saluhang  dan kini   menjadi Salurang.
Karena   Gumansalangi   adalah  seorang  bangsawan  maka   tempat   tersebut  dinamakan  Saluhang yang   berararti  ”dieluk-elukan” dan  dipelihara   supaya   dia   bertumbuh dengan   baik dan  subur. Sejak kedatangan Gumansalangi  dan  Kondaasa di saluhe,  selalu  saja   terdengar gemuruh dan terlihat   kilat yang   datang  dari  gunung. Gumansalangi  lalu diberikan gelar  Medellu yg   berarti  Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila yang   berarti  cahaya   kilat. Gumansalangi  dan  Kondaasa memiliki  dua   orang   putra  bernama  Melintangnusa dan  Melikunusa.
Gumansalangi   lalu   mendirikan kerajaan pada   tahun 1300. Wilayah   kerajaannya sampai ke  Malurung (Pulau  Balut / Philliphina).Saudara  laki-laki Kondaasa melanjutkan  perjalanan ke kepulauan Talaud tepatnya  di  pulau  Kabaruan.   Sampai   saat   ini  tempat yang  pertama  kali  diinjak   oleh   Pangeran Bawangunglare, dinamakan  Pangeran.
Gumansalangi menyerahkan   waris  raja  kepada anaknya yang sulung Melintangnusa pada  tahun 1350. Anak  bungsu Melikunusa   mengembara  ke  Mongondow dan memperisteri Menongsangiang  putri  raja Mongondow.Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan  Melintangnusa   meninggal  di Philliphina  pada  tahun 1400. Sesudah   wafatnya Malintangnusa,  kerajaan terbagi  dua  yaitu kerajaan  Utara  bernama  Sahabe  atau Lumage  dan  kerajaan  Selatan   bernama Manuwo atau   Salurang. (dari  beberapa  catatan lepas pemerhati   sejarah  sangihe).
b.     Versi  kedua
Terbentuknya   kerajaan pertama  Sangihe berakar   dari cerita   tentang  Gumansalangi.  Humansandulage  beristeri  Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo dan memperanakan Gumansalangi.
Gumansalangi,  setelah mempersunting Ondaasa berlayar  dari  Molibagu melalui  pulau Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus  ke Mindanao kemudian  kepulau Sangihe, mereka  tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung Sahendarumang dan  berdiam  disana  sampai terbentuknya  kerajaan Sangihe  pertama bernama Tampungang Lawo pada  tahun 1425.
( Iverdikson Tinungki dalam  tabloid  Zona  utara )
c.      Versi  ketiga 
Gumansalangi  adalah anak seorang  raja  dari  sebuah  kerajan  kecil  diwilayah Philiphina  bagian  selatan.  Ibunya  meninggal  ketika Gumansalangi  masih  kecil. Raja  kemudian menikah  lagi  dengan  perempuan  lain  dan  melahirkan seorang  puteri. Pada suatu pesta sang  puteri atas  perintah  ibunya mempengaruhi Raja  dengan  sebuah  permintaan dan  berkata ”harta  kekayaan  tak penting  bagiku yang  kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini  dilakukan  agar  tahta  kerajaan tidak  jatuh  ketangan Gumansalangi.
Keinginan itu  diketahui   oleh Batahalawo dan  Batahasulu atau  Manderesulu orang sakti  kerajaan pengikut Gumansalangi,  mereka  lalu  meberitahukan rencana  itu  pada  Gumansalangi. Batahalawo kemudian melemparkan ikat  kepala ( poporong ) kelaut yang  kemudian  menjelmah  menjadi   Dumalombang  atau ular  naga besar. Dumalombang membawa  terbang Gumansalangi  dan  tiba di Rane dan  tebing Mênanawo lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya  ditempat  yang  baru, setiap malam  Gumansalangi  hanya  mendengarkan  suara burung  pungguk  atau  Tanalawo, arti  lain  dari  Tanalawo  adalah  Pulau  Besar.
Pada   suatu  senja  digubuknya  kedatangan  seorang  nenek  yang memerlukan tempat  berteduh. Malam  berikutnya  dia  didatangi  lagi seorang gadis  cantik. Dua persitiwa membingungkan hati  Gumansalangi. Disaat  tenang   terdengar suara  yang  berkata ambilah  telur  dipucuk  pohon  yang  besar  itu  dan  jangan  sampai  pecah.  Ditebangnyalah  pohon  tersebut sampai  mendapatkan  sebutir  telur. Telur  itu  kemudian pecah dalam  perjalanan  pulang,  dari  telur  itu  keluar  seorang puteri cantik  yang  kemudian  dikenal dengan  nama  Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa ( puteri perintang  malam ) putri khayangan. Mereka  menikah lalu  dinobatkan menjadi Kasili Mědělu  dan  Sangiang Měngkila yang  berarti Putra  Guntur dan  Putri  Kilat. Dinamai  demikian  karena pakaian  sang  putri  berkilau  seperti  emas dan pertemuan  mereka  ditandai  gemuruh  dari langit.  Cerita  ini  juga menjadi bagian  dari  lahirnya  nama sangihe, dan menjadi  inspirasi  untuk pemotongan  kue  adat Tamo.
( Toponimi,Cerita  rakyat, dan  data  sejarah dari  kawasan  perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )
d.     Versi  ke  empat
Tahun 1300, Pangeran Gumansalangi dibuang  oleh orang tuanya dari Cotabato – Mindanao, jauh ketengah hutan. Gumansalangi dibuang karena  tabiatnya buruk. Ditengah   hutan Gumansalangi menyadari  kesalahannya sambil  menangis-nangis dan  tangisannya  terdengar sampai  kekayangan. Dia lalu ditolong oleh  raja  dari kayangan dengan  mengirim putri bungsunya bernama konda kebumi  untuk menemui  Gumansalangi dalam  penyamaran  sebagai  seorang  perempuan  yang  berpenyakit kulit.
Gumansalangi  mengajak   perempuan itu   untuk  tinggal  bersamanya.  Tapi  beberapa hari kemudian sang  putri  menghilang karena  kembali  kekhayangan. Dua  kali  putri  melakukan  hal  itu  kepada  Gumansalangi.  Ketiga kalinya sang  putri datang lagi  dalam  rupa  putri  cantik atas  perintah ayahnya. Sejak  saat  itu mereka  menjadi  suami  isteri.
Setelah  menikah, atas  perintah  sang raja khayangan  mereka  disuruh keluar  dari  hutan  tersebut. Kepergian mereka  ditemani oleh kakak sang  putri bernama Bawangung – Lare yang menjelmah  menjadi  seekor naga. Mereka  berangkat ketimur  dan  sampai  ke  pulau  Marulung (pulau  balut  sekarang) Ditempat  ini  mereka  tidak   turun  karena   tidak  ada  tanda  seperti  yang  disampaikan  oleh  ayah  mereka.Tanda-tanda  tersebut  adalah nampak  kilat saling menyambar  dan  gemuruh. Perjalanan di  lanjutkan  melewati  Pulau Mandalokang (Pulau  taghulandang  sekarang)  mereka  tidak  menetap  disana  karena  tidak  ada  tanda dan  terus ke pulau  Karangetang disana  tidak  juga  terlihat  tanda. Perjalanan dilanjutkan  ke pulau  Tampungang Lawo menuju  ke  gunung Sahendalumang.  Di puncak  gunung, mereka  menemukan  tanda   berupa  kilat dari  atas  dan  gemuruh  dari  bawah. Berdasarkan  titah  sang  ayah,  menetaplah  mereka di  tempat  itu.  Gumansalangi  diangkat menjadi  raja  dengan  gelar   Medellu  yang  berarti bagaikan  gemuruh, sedangkan  Putri  Konda  dijuluki Mengkila yang  berarti putri  kilat.  Kerajaan  itu  bernama  kerajaan  Tampungan Lawo.
Tahta  kerajaan  kemudian  diserahkan kepada  anaknya yang sulung   Melintangnusa  tapi  kemudian  Melintangnusa pergi  ke Mindanao  dan menikah  dengan putri Mindanao bernama  Putri Hiabĕ anak  dari raja tugis. Adiknya Melikunusa pergi ke daerah Bolaang Mongondow dan  menikah  dengan  putri Mongondow bernama Menong Sangiang.
Tahta kerajaan dari Melintangnusa digantikan  oleh  anaknya Bulegalangi.  ( sumber cerita  dari Bapak H.Juda dalam buku Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau  Sangihĕ “). 
Melihat  penyampaian syair  umum   dalam  berbagai sasalamate tamo yang diturunkan  sejak  masa lalu,  memberikan  gambaran tentang usaha   Gumansalangi  memecahkan  masalah  dan akhirnya  mendapatkan  apa  yang  diinginkan. Tentang telur pada  pucuk  tamo  sudah  dijadikan  hiasan utama  pada   tamo  masa lalu  sbagai  simbol  kehidupan   baru  yang  diamanatkan  dalam  kisah  Konda Wulaeng. Jika  pemaknaan  filosofi  Tamo  adalah   gambaran Gumansalangi dan  konda wulaeng  maka kemungkinan   besar,  dari  beberapa  versi  cerita  Gumansalangi  diatas yang  paling  bersesuaian  adalah versi  ke tiga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar