SEJARAH DAN KEBUDAYAAN SANGIHE
oleh : Alffian W.P. Walukow
oleh : Alffian W.P. Walukow
BAB - I
CERITA GUMANSALANGI
SANGIANG KONDA WULAENG
SANG PUTRI CAHAYA
Untuk mendalami
kebudayaan sangihe,
sebaiknya memahami sastera lisan sangihe, sastera lisan sangihe adalah salah satu bukti peninggalan kebudayaan
sangihe masa lalu yang masih dilestarikan sampai saat ini. Dari
beberapa sastera lisan sangihe
yang paling melegenda
adalah cerita Gumansalangi.
Dari cerita tersebut kita
dapat melihat keberadaan sangihe dari
penduduk mula-mula sampai terbentuknya
kerajaan-kerajaan yang menjadi
dasar terbentuknya sebuah
suku yang dinamakan
suku sangihe. Kisah Gumansalangi
sebagai penduduk mula-mula tergambar secara
utuh dalam “Tamo” karena
tamo telah menjiwai kelahiran sangiang konda sebagai
ibu dari
orang-orang sangihe. Cerita Gumansalangi
dan pembentukan kerajaan sudah ditulis
banyak orang meskipun
hanya dalam tulisan-tulisan lepas, bukan dalam
sebuah buku yang sangat lengkap.
Ada banyak
tulisan yang dilengkapi dengan
tahun kejadian, tetapi belum bisa
diakui karena semua cerita
tentang Gumansalangi, tidak pernah
dibukukan dimasa lalu sehingga
terjadi kesimpangsiuran.
Mungkin cerita lengkap
tentang Sangihe boleh
ditelusuri di Belanda untuk mandapatkan
kepastian yang lebih ilmiah dan dapat diakui
oleh publik yang
lebih luas.
Seperti
pepatah mengatakan “tak ada rotan
akarpun jadi”. Kita sebagai
generasi baru tidak bisa
lagi menunggu “pemerintah” untuk mendanai
penelitian dan penulisan tentang
sejarah dan kebudayaan sangihe
secara komprehensip. Karena
lebih banyak orang sangihe
“ndak” mau peduli,
dari pada yang
terpanggil untuk berbuat
menggali kekayaan budaya.
Tokoh
Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad
lamanya di kepulauan sangihe
melalui cerita lisan dari
generasi kegenerasi secara turun-temurun. Sejak masuknya
bangsa Eropa, cerita Gumansalangi
mulai
ditulis oleh para budayawan, sejarahwan dan pemerhati
sejarah dan kebudayaan sangihe lainnya dalam bentuk
tulisan-tulisan lepas.
Cerita
Gumansalangi pertama kali
diterjemahkan Desember 1993 di
Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru ditulis oleh Kenneth R. Maryott,
seorang berkebangsaan Amerika yang
bekerja sebagai dosen
bahasa Inggris di Philliphin dalam
buku yang berjudul “ Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau Sangihĕ
“. Buku tersebut ditulis dalam
tiga bahasa, yaitu
bahasa Sangihe,bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia, diterbitkan oleh “ The
Committee For The Promotion Of The
Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth bertindak
sebagai editor, berdasarkan penuturan dari Bapak Haremson E. Juda.
Disamping itu terdapat juga cerita
tentang Makaampo. Cerita
Makaampo pertama kali ditulis dan dipublikasikan dengan judul “Bĕkeng
Makaampo (The Story of Makaampo)”
dari artikel journal “Majalah Bijdragen tot de taal,- Land
– en Volkendkunde, Volume 113 (1957)
Cerita
Gumansalangi berasal dari kepulauan Sangihe Talaud, yang diceritakan
sebagai folklore atau cerita
rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari masa silam yang menuju
ke ambang kepunahan).
Banyak cerita yang
berkembang di kepuluan sangihe
tentang Gumansalangi tetapi
intinya berkisah tentang penduduk sangihe pertama. Permasalahannya adalah Siapa dan dari
mana asal Gumansalangi yang
sebenar – benarnya. Sampai kapanpun tidak
akan mungkin ditemukan kebenaran secarah ilmiah siapa
Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum ditemukan bukti melalui
naskah kuno atau
prasasti yang menulis atau memberikan
gambaran tentang kehidupan Gumansalangi. Hal ini
terjadi juga pada
beberapa folklore lain disulawesi
utara seperti cerita Toar dan
Lumimuut dari Minahasa, cerita
Gumalangi dan isterinya Tendeduata penghuni pertama
Bolaang Mongondow, cerita
seperti ini tetap
menjadi legenda.
Kenapa
cerita Gumansalangi memiliki
banyak bentuk,dari alur cerita maupun
kesesuaiannya dengan sejarah Sangihe. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal
yaitu : Cerita
Gumansalangi merupakan sastera lisan, yang hanya
diceritakan dari mulut ke mulut, keadaan
ini memungkinkan terjadinya berbagai perubahan.
Perubahan dapat terjadi berdasarkan
siapa yang pertama mengisahkan, siapa yang
mendengarkan, kepada siapa kisah
itu diturunkan dan dilingkungan
apa cerita itu dikembangkan.
Berdasarkan beberapa cerita yang berkembang dimasyarakat
sangihe terdapat beberapa
cerita berdasarkan tempat dimana
cerita itu berkembang diantaranya ;
Cerita Gumansalangi versi Siau, Cerita Gumansalangi
versi Talaud, Cerita
Gumansalangi versi pulau Sangihe
besar. Dikalangan orang sangihe sendiri terdapat beberapa bentuk, seperti versi cerita
Gumansalangi dari orang-orang
yang ada di bekas
kerajaan Tabukan dan
diluar kerajaan Tabukan. Diantara beberapa
versi tersebut dapat dipaparkan
beberapa versi yang memiliki perbedaan.
a.
Versi pertama (versi siau)
Gumansalangi
adalah kulano pertama di Pulau Sangihe
besar. Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda
atau Kondawulaeng. Gumansalangi adalah Putera Mahkota
dari kesultanan
Cotabato,Mindanao Selatan akhir abad ke XII. Mereka diperintahkan untuk pergi
ketimur oleh ayah Gumansalangi dengan maksud supaya
mereka dapat mendirikan
kerajaan baru. Berangkatlah mereka dengan menunggangi
ular terbang sampai
ke Pulau Marulung (pulau balut), kemudian keselatan menuju pulau Mandolokang (pulau
Taghulandang) dipulau ini mereka
tidak turun tetapi
melanjutkan perjalanan ke
pulau lain melewati pulau Siau dan
turun di pulau Sangihe besar.
Dalam perjalanan,
ikut pula saudara
laki-laki dari Kondaasa
bernama Pangeran Bawangunglare.
Mereka lalu mendarat di pantai Saluhe. Dikemudian hari
nama Saluhe berubah menjadi Saluhang dan kini
menjadi Salurang.
Karena
Gumansalangi adalah seorang
bangsawan maka tempat
tersebut dinamakan Saluhang yang berararti
”dieluk-elukan” dan dipelihara supaya
dia bertumbuh dengan baik dan
subur. Sejak kedatangan Gumansalangi
dan Kondaasa di saluhe, selalu
saja terdengar gemuruh dan
terlihat kilat yang datang
dari gunung. Gumansalangi lalu diberikan gelar Medellu yg berarti
Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila
yang berarti cahaya
kilat. Gumansalangi dan Kondaasa memiliki dua
orang putra bernama
Melintangnusa dan Melikunusa.
Gumansalangi lalu
mendirikan kerajaan pada tahun 1300. Wilayah kerajaannya sampai ke Malurung (Pulau Balut / Philliphina).Saudara laki-laki Kondaasa melanjutkan perjalanan ke kepulauan Talaud tepatnya di
pulau Kabaruan. Sampai
saat ini tempat yang
pertama kali diinjak
oleh Pangeran Bawangunglare,
dinamakan Pangeran.
Gumansalangi menyerahkan
waris raja kepada anaknya yang sulung Melintangnusa
pada tahun 1350. Anak bungsu Melikunusa mengembara
ke Mongondow dan memperisteri Menongsangiang putri
raja Mongondow.Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan Melintangnusa meninggal
di Philliphina pada tahun 1400. Sesudah wafatnya Malintangnusa, kerajaan terbagi dua
yaitu kerajaan Utara bernama
Sahabe atau Lumage dan
kerajaan Selatan bernama Manuwo atau Salurang. (dari beberapa catatan lepas pemerhati sejarah
sangihe).
b.
Versi kedua
Terbentuknya
kerajaan pertama Sangihe
berakar dari cerita tentang
Gumansalangi. Humansandulage
beristeri Tendensehiwu dan
memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo dan memperanakan
Gumansalangi.
Gumansalangi, setelah mempersunting Ondaasa berlayar dari
Molibagu melalui pulau
Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus ke
Mindanao kemudian kepulau Sangihe,
mereka tiba di Kauhis lalu mendaki
Gunung Sahendarumang dan berdiam disana
sampai terbentuknya kerajaan
Sangihe pertama bernama Tampungang Lawo
pada tahun 1425.
( Iverdikson Tinungki dalam tabloid
Zona utara )
c.
Versi ketiga
Gumansalangi
adalah anak seorang raja dari
sebuah kerajan kecil
diwilayah Philiphina bagian selatan.
Ibunya meninggal
ketika Gumansalangi masih kecil. Raja
kemudian menikah lagi dengan
perempuan lain dan
melahirkan seorang puteri. Pada
suatu pesta sang puteri atas perintah
ibunya mempengaruhi Raja
dengan sebuah permintaan dan berkata ”harta kekayaan
tak penting bagiku yang kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh
Gumansalangi. Permintaan ini dilakukan agar
tahta kerajaan tidak jatuh
ketangan Gumansalangi.
Keinginan itu
diketahui oleh Batahalawo
dan Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan pengikut Gumansalangi, mereka
lalu meberitahukan rencana itu
pada Gumansalangi. Batahalawo
kemudian melemparkan ikat kepala (
poporong ) kelaut yang kemudian menjelmah
menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa terbang Gumansalangi dan
tiba di Rane dan tebing Mênanawo
lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya ditempat
yang baru, setiap malam Gumansalangi
hanya mendengarkan suara burung
pungguk atau Tanalawo, arti lain
dari Tanalawo adalah
Pulau Besar.
Pada suatu senja
digubuknya kedatangan seorang
nenek yang memerlukan tempat berteduh. Malam berikutnya dia
didatangi lagi seorang gadis cantik. Dua persitiwa membingungkan hati Gumansalangi. Disaat tenang
terdengar suara yang berkata ambilah telur
dipucuk pohon yang
besar itu dan
jangan sampai pecah.
Ditebangnyalah pohon tersebut sampai mendapatkan
sebutir telur. Telur itu
kemudian pecah dalam
perjalanan pulang, dari
telur itu keluar
seorang puteri cantik yang kemudian
dikenal dengan nama Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa (
puteri perintang malam ) putri
khayangan. Mereka menikah lalu dinobatkan menjadi Kasili Mědělu dan
Sangiang Měngkila yang berarti
Putra Guntur dan Putri
Kilat. Dinamai demikian karena pakaian sang
putri berkilau seperti
emas dan pertemuan mereka ditandai
gemuruh dari langit. Cerita
ini juga menjadi bagian dari
lahirnya nama sangihe, dan
menjadi inspirasi untuk pemotongan kue
adat Tamo.
( Toponimi,Cerita rakyat, dan
data sejarah dari kawasan
perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )
d.
Versi ke
empat
Tahun 1300, Pangeran
Gumansalangi dibuang oleh orang tuanya
dari Cotabato – Mindanao, jauh ketengah hutan. Gumansalangi dibuang karena tabiatnya buruk. Ditengah hutan Gumansalangi menyadari kesalahannya sambil menangis-nangis dan tangisannya
terdengar sampai kekayangan. Dia
lalu ditolong oleh raja dari kayangan dengan mengirim putri bungsunya bernama konda kebumi untuk menemui
Gumansalangi dalam
penyamaran sebagai seorang
perempuan yang berpenyakit kulit.
Gumansalangi mengajak
perempuan itu untuk tinggal
bersamanya. Tapi beberapa hari kemudian sang putri
menghilang karena kembali kekhayangan. Dua kali
putri melakukan hal
itu kepada Gumansalangi.
Ketiga kalinya sang putri datang
lagi dalam rupa
putri cantik atas perintah ayahnya. Sejak saat
itu mereka menjadi suami
isteri.
Setelah menikah, atas
perintah sang raja khayangan mereka
disuruh keluar dari hutan
tersebut. Kepergian mereka
ditemani oleh kakak sang putri
bernama Bawangung – Lare yang
menjelmah menjadi seekor naga. Mereka berangkat ketimur dan
sampai ke pulau
Marulung (pulau balut sekarang) Ditempat ini
mereka tidak turun
karena tidak ada
tanda seperti yang
disampaikan oleh ayah
mereka.Tanda-tanda tersebut adalah nampak
kilat saling menyambar dan gemuruh. Perjalanan di lanjutkan
melewati Pulau Mandalokang
(Pulau taghulandang sekarang)
mereka tidak menetap
disana karena tidak
ada tanda dan terus ke pulau Karangetang disana tidak
juga terlihat tanda. Perjalanan dilanjutkan ke pulau
Tampungang Lawo menuju ke gunung Sahendalumang. Di puncak
gunung, mereka menemukan tanda
berupa kilat dari atas
dan gemuruh dari
bawah. Berdasarkan titah sang
ayah, menetaplah mereka di
tempat itu. Gumansalangi
diangkat menjadi raja dengan
gelar Medellu yang
berarti bagaikan gemuruh,
sedangkan Putri Konda
dijuluki Mengkila yang berarti
putri kilat. Kerajaan
itu bernama kerajaan
Tampungan Lawo.
Tahta kerajaan
kemudian diserahkan kepada anaknya yang sulung Melintangnusa tapi
kemudian Melintangnusa pergi ke Mindanao
dan menikah dengan putri Mindanao
bernama Putri Hiabĕ anak dari raja tugis. Adiknya Melikunusa pergi ke
daerah Bolaang Mongondow dan
menikah dengan putri Mongondow bernama Menong Sangiang.
Tahta kerajaan dari
Melintangnusa digantikan oleh anaknya Bulegalangi. ( sumber cerita dari Bapak H.Juda dalam buku “
Manga wĕkeng Asaļ ‘u Tau Sangihĕ “).
Melihat
penyampaian syair umum dalam
berbagai sasalamate tamo yang
diturunkan sejak masa lalu,
memberikan gambaran tentang
usaha Gumansalangi memecahkan
masalah dan akhirnya mendapatkan
apa yang diinginkan. Tentang telur pada pucuk
tamo sudah dijadikan
hiasan utama pada tamo
masa lalu sbagai simbol
kehidupan baru yang
diamanatkan dalam kisah
Konda Wulaeng. Jika pemaknaan filosofi
Tamo adalah gambaran Gumansalangi dan konda wulaeng
maka kemungkinan besar, dari
beberapa versi cerita
Gumansalangi diatas yang paling
bersesuaian adalah versi ke tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar