Sabtu, 10 Agustus 2019

BEKEM I UPUNG

BEKEM I UPUNG
oleh : Alffian Walukow


Sangihe  adalah  sebuah  negeri  diperbatasan  Utara  Indonesia yang  berkait pulau  demi pulau. Dimasa  lalu, negeri  ini  tersembunyi  dibelakang  negeri  lain dan  terlepas dari  belaian ibu pertiwi.  Diatas  tanah kepulauan  ini hidup berbagai  manusia yang “katanya”  manusia  Indonesia. Mereka  merangkak untuk  mencapai Nirwananya sendiri, meskipun  hanya  melalui  mimpi-mimpi. Berabad – abad  lamanya secara  alamiah membentuk kebudayaannya yang  diwariskan dari  generasi ke generasi pada ruang-ruang yang terbungkam. Tidak  banyak anak negeri Indonesia  yang tahu dimana Sangihe.
Mengawali keyakinannya  kepada Genggona Langî Duata Saruļuang ( Tuhan penguasa langit dan bumi) Sangihe  memperkuat  dirinya  sebagai  sebuah  suku yang berbudaya dan bermartabat agar tidak selamanya teraniaya. Masa dan  waktu  telah  merubah  segalanya sampai  kemudian  lahirlah sang pangeran Gumansalangi  menjadi  raja  pertama di kepulauan  Sangihe.   Dalam  perjalanan waktu  yang  panjang Tau Sangihê (orang Sangir) pergi sejauh mata memandang sampai hilang di Tagharoa (samudera). Menjadi anak laut, berlayar  melampaui batas. 
Gunung-gunung  api yang  menjulang ke langit diatas dan ke laut dibawah bergantian  menghancurkan negeri “pê tatampungang”. Tau Sangir  tercerai – berai, terserak seperti sekam ditiup angin sambil menangis.  Mereka  menangis dengan nyanyian, menyanyi dengan  tangisan. Kekayaan  alam,  mempertahankan hidup sebagai  pemberian sang “Mawu”  (Tuhan). Tuhan  yang  memberikan Kelapa, Pala, Cengkeh, dan kekayaan Laut.  
Dalam  peredaran  waktu  yang  panjang, dimana setiap  masa  ada orangnya,  orang Sangir  terus  bernyanyi menjadikannya nafas dalam  kehidupan berbudaya.
Mereka menyanyikan doa dalam Mê sambo ( sambo = syair), membalaskan syair  dalam  masamper,  menarikan  syair pada  gund, memainkan syair  pada ampa  wayer, menunjukkan ketaatan pada ala badiri, menghunus  pedang  pada Salo, Mengatur sikap  pada Upasê, menyampaikan nasehat  pada Sasalamatê dan  merendahkan diri pada Tuludê.
Seperti laut yang empunya  ombak dan angin yang  melambaikan daun. Di negeri ini, masih berayun Nyiur melambai Merah Putih sebagai  tanda cinta  kepada Indonesia.

 SENI RUPA SANGIHE