LEGENDA LIPAN DAN KONIMPIS
Oleh : Alffian Walukow
( Perang memperebutkan Batas Minahasa Dan Kerajaan Mongondow
berlangsung tiga kali, juga sebagai upaya ekspansi Mongondow ke
Minahasa )
a. Cerita Lipan dan Konimpis, Versi Kampung Wiau-
Lapi.
Pada saman dahulu hiduplah dua orang kakak beradik
disebuah hutan yang terletak di sebelah barat kampung Wiau-
Lapi, tepatnya diperkebunan konimpis. Lipan, adalah anak
sulung, Konimpis adalah anak bungsu. Setiap hari Lipan
bekerja sebagai pemburu dan suka memasak daging tikus.
Sedangkan Konimpis pekerjaannya adalah tukang batipar
saguer (penyadap nira). Oleh kakaknya, Konimpis dijuluki
wolot karena berbadan kecil.
( Daerah Minahasa mengenal bermacam-macam tikus
menurut ukuran besar badan diantaranva adalah ,Te’ bung,
pengala' den, tangkomot, lumalaput, turean, lolak. Worongis,
wolot, tikus kapal. ).
Lipan sisulung berbadan kekar sehingga mendapat
bagian pekerjaan sebagai pemburu. Mereka tinggal di
pinggiran sebuah sungai yang sekarang ini diberi nama
sungai Konimpis. Saat ini nama Konimpis adalah nama
sebuah perkebunan desa Wiau-Lapi yang merupakan wilayah
dari kampung Lapi sebelum bersatu dengan kampung Wiau,
tahun 1890.
Pada suatu saat karena tidak tahan selalu diejek oleh
lipan yang sering memanggilnya wolot terjadilah
perselisihan. Akibat dari perselisihan itu, Konimpis
berpisah dengan kakaknya dan pergi jauh ke wilayah
Kerajaan Mongondow. Oleh karena kepatuhan dan
kepintarannya, konimpis diangkat sebagai salah satu
panglima perang kerajaan Mongondow. Ketika kerajaan
Mongondow mengadakan ekspansi mencoba memperluas
wilayah kekuasaan dengan merampas sebagian tanah
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
Minahasa yang saat ini berada diwilayah Kabupaten
Minahasa Selatan. Peperangan demi peperangan
dimenangkannya.
Pada suatu saat Konimpis diutus berperang untuk
merebut wilayah disekitar pegunungan Tareran sekarang,
Pasukan Mongondow dan pasukan Minahasa bertempur
habis-habisan. Pusat kekuatan pasukan Mongondow berada
didesa Pinamorongan sekarang, didaerah pinamorongan
masa lalu terdapat tempat pemancungan kepala orang.
" Pinamorongan asal kata dari pinorongan (ikat kepala) atau
poporong ( jambul ayam) Merupakan julukan untuk pasukan
Mongondow yang selalu berikat kepala. "
Pusat pertahanan para prajurit ( Waraney ) Minahasa
berada di desa Wuwuk. Di tempat ini Tonaas-tonaas
membakar kemenyan. Wuwuk adalah nama sebuah pohon
sebangsa kemenyan yang dipakai sebagai bakaran menyertai
mantera untuk memperkuat pertahanan prajurit Minahasa
yang sedang bertempur dengan kekuatan supra natural.
Prajurit Minahasa diberikan ikat pinggang berisi kekuatan
magic yang disebut Wentel.Wentel dapat berupa batu atau
karimenga sebangsa pohon liar.
Daerah pertempuran antara kedua pasukan. adalah di
Pegunungan Tareran yang membentang dari antena Relay
TVRI (keadaan sekarang) sampai ke perkebunan desa Wiau-
Lapi tepatnya dijalan masuk menuju perkebunan
Kayurangka.Pertempuran yang dilakukan oleh kedua
pasukan memakan banyak korban jiwa. Mayat-mayat
berhamburan disepanjang pegunungan Tareran, baik dari
pihak Lipan maupun pihak Konimpis.
Para tetua kampung Wiau Lapi mengatakan bahwa
mayat-mayat tersebut seperti diatur atau dalam bahasa
Tountembouan disebut airarer, irarer, nirarer, Tempat itu
juga sering dinamai paragesan, (tempat diaturnya mayatmayat)
atau parageyan asal kata ragey (tempat
penyembelihan). Paragesan adalah tradisi menyembelih
korban Manusia. Di kemudian hari menggunakan binatang,
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
untuk dipersembahkan kepada arwah leluhur. Dari kisah
inilah dikenal nama Tareran dengan asal kata Airarer yang
berarti diatur.
Peperangan berujung pada perkelahian antara dua
kakak beradik yaitu Lipan dan Konimpis satu lawan satu.
Perkelahian berlangsung cukup lama karena masing-masing
memiliki kesaktian. Konimpis memiliki kesaktian yang luar
biasa sehingga Lipan tidak sanggup mengalahkannya.
Timbullah siasat Lipan untuk mengalahkan Konimpis dengan
tipuan. Disebuah sungai kecil ( sungai konimpis sekarang)
Lipan merebahkan tubuhnya membentang diatas sungai
seperti sebuah sebuah dodoku (jembatan kecil dai kayu).
Ketika konimpis menyeberangi tubuh Lipan yang dikiranya
Jembatan, maka Lipan mempergunakan kesempatan untuk
menjatuhkan Konimpis kedalam sungai. Perkelahian hebat
terjadi, dan pada saat itulah kedua kakak beradik gugur.
Sebelum mati, Konimpis yang memiliki kesaktian,
memukulkan tangannya ke sebuah batu dan jadilah tanda
tapak tangan.
Peristiwa perkelahian ini terjadi diatas sebuah jeram.
Sedangkan posisi batu masih ada, tapi sudah tidak ada lagi
bekas telapak tangan. Konon pada saat-saat tertentu ada
orang yang bisa melihat batu tersebut dengan cara
mempersembahkan korban sembelihan seekor ayam putih.
Batu tersebut dikenal dengan batu Konimpis ,batu ini menjadi
tanda bahwa pemah terjadi perrnusuhan antara kakak beradik
dan menjadi pesan alamiah kepada penduduk setempat agar
supaya jangan terjadi lagi hal yang sama.
Kisah ini sudah diceritakan secara turun-temurun
didesa Wiau Lapi dan telah ditulis berdasarkan penuturan
dari tua-tua kampung. Selain menjadi nama sebuah
perkebunan di desa Wiau-lapi kecamatan Tareran, konon
nama Konimpis diabadikan menjadi nama sebuah sungai di
daerah Mongondow dengan nama sungai Konimpi'.
Versi lain mengatakan bahwa Konimpis dibunuh oleh
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
seorang anak raja di dsaerah Tombatu dengan Rumput piso
atau Rumput Sarawet ketika sedang pulang Ke Mongondow.
Keturunan dari Lipan adalah Pangkey.
Legenda ini ditulis berdasarkan tutur dan wawancara dengan tua-tua
kampung Lapi sejak 1980-an.
Nara sumber lisan dari : Bpk. Jesaya Pendong (papa dolop), Bpk. J.A.
Senduk, Bpk. R.M. Sambur,Bpk, S.P.Walukow,Bpk.Alexander Walukow,
Bpk . Guru Worotitjan, Oma Palar.
b. Cerita Lipan dan Konimpis berdasarkan Versi orang
Tombatu
Disekitar Sungai Bulilin Tombatu, berdirilah sebuah
kerajaan yang dipimpin oleh seorang Ratu. Ratu tersebut
adalah salah satu keturunan dari Pingkan Matindas. Dari sang
Ratu lahir dua orang anak bernama Lipan dan Konimpis.
Beranjak dewasa diberikanlah dua wilayah oleh sang ratu
kepada dua anaknya sebagai tempat mencari nafkah.
Berdasarkan karakter masing-masing, maka Lipan diberikan
wilayah di daerah Kiawa. Kemudian pada satu saat, Lipanlah
yang membangun daerah Lansot dan Rumoong atas.
Konimpis diberikan Wilayah dari Tombatu sampai ke Buyat.
Setiap hari Konimpis bekerja sebagai nelayan di danau Bulilin.
Penuturan Dari, Amir Mamonto
Guru SMP Molompar.Mantan
Guru Seni rupa SMP Negeri
Tareran di Rumoong
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
E. KAJIAN TERHADAP KATA TARERAN
Perkebunan bernama Konimpis didesa Wiau-Lapi dan
sungai bernama Konimpis yang menyeberangi perkebunan
Pawunongan menjadi acuan bahwa Legenda Lipan dan Konimpis
terjadi di Desa Wiau Lapi.
Legenda Lipan dan Konimpis adalah Legenda yang lahir sebagai
akibat dari masalah “ma’kere “ ( memindahkan batas tanah )
perbatasan antara Minahasa dan Mongondow.
Dari peristiwa itulah kemudian lahir pengistilahan
Rinareran pada daerah disekitar puncak Tareran, termasuk
didalamnya Kampung Wuwuk, Rumoong atas dan Wiau Lapi
( tidak termasuk Lansot ). Jika kita mengambil kata Tumareran
berarti sekelompok orang dari Tareran.
Tetapi tidak ada bukti bahwa nama Tareran berasal dari kata
Taar - era. Istilah Tareran bukanlah suatu pemberian, tetapi
suatu pengistilahan yang sudah melalui proses penamaan secara
tidak sengaja oleh orang-orang yang tinggal disekitar puncak
Tareran dan mengalami proses perubahan oleh dialek orang yang
mengucapkannya.
Kata Taar era yang diartikan sebagai “pesan mereka”
adalah makna penting dari peristiwa, bukan pesan langsung dari
mulut Konimpis atau Lipan, juga bukan pesan dari cerita. Bukti
yang menguatkan bahwa Tareran berasal dari kata Ai-rarer,
Rinareran, Parareran dan paragesan, rinagesan, adalah legenda
itu sendiri yang berarti tempat diaturnya mayat, mayat-mayat
yang berderet, tempat penyembelihan.Tidak ada satu istilah
yang menjadi nama kampung, mampu bertahan selama beratus
tahun tanpa perubahan yang sangat signifikan .
Kata Tareran dari kata Taar era ( Menurut Drs. A. J.
Wawointana ) hanya mengalami pengurangan vocal “ a” dan
penambahan konsonan “ n “
Contoh beberapa pengistilahan yang mengalami perubahan oleh
proses dialek selama beratus tahun seperti :
- Minahasa berasal dari kata : Malesung, Makalisung, Maesa,
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
Minaesa, Nimaesa, terakhir
Minahasa
- Manado berasal dari kata : Manarou (dari kata bahasa
sangihe “ marau” ), Wenang,
terakhir Manado
Tareran adalah tanah terakhir yang mampu dimasuki
Pasukan Kerajaan Mongondow setelah kalah di Kayuuwi.Untuk
mempertahankanya diutuslah para waraney dari daerah lain.
Ada dua orang utusan dari daerah Tonsea Rimper dan Dotulong,
mereka memiliki keahlian menterjemahkan suara burung Wara’
atau Burung Manguni beberapa hari sebelum pertempuran.
Bukti kuat yang menjelaskan bahwa mereka orang Airmadidi
(suku Tonsea), adalah Waruga ( disamping Balai desa Lansot
sekarang ). Pada saat itu hanya dikenal daerah Pegunungan
disekitar Rumoong, belum ada kampung Lansot ( Graffland,
1860 )
Budaya Waruga tidak dikembangkan di Tareran. Waruga di di
Desa Lansot memiliki gaya yang sama dengan Waruga-Waruga
di Sawangan, Airmadidi
Nama – nama kampung yang teradaptasi akibat Perang
Minahasa - Mongondow diantaranya adalah :
Kayuuwi, Rumoong, Wuwuk, Pinamorongan, Tumpaan, Lompa’,
Tambelang, daerah aer anjing, Sinisir dan Poigar dan beberapa
kampung lain.
Legenda “ Nasija Mongondow “
Orang Mongondow tidak membakar nasija di bulu
Tambelang. Karena bulu Tambelang pernah digunakan sebagai
tombak untuk membunuh pasukan Mongondow di daerah
perkampungan Tambelang. Nasija Mongondow asli hanya
dibungkus dengan daun Elusan atau daun Laci ( lecit ) lalu
direbus dengan santan. Sedangkan nama nasija Mongondow
sekarang adalah adaptasi dari kata bahasa sangir Bahundak
dengan arti nasija.
Manarou adalah nama Tua dari Manado, diadaptasi
116 TAHUN DESA WIAU LAPI, Alffian W.P. Walukow, S.Pd
yang dimasa lalu adalah pusat kerajaan Bowontehu.Raja Kerajaan
Bowontehu pertama adalah Mokodolughu anak dari raja pertama
kerajaan Mongondow. Raja Mongondow pertama adalah
Waruga Rimper Dotulong di Desa Lansot, kec. Tareran
Waruga Sawangan Airmadidi
dari kata Marau (bahasa sangihe , yang berarti jauh)
Pulau Manado tua adalah Kedatuan sangihe tertua
keturunan dari Sultan Cota Bato Philliphina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar